Setelah menikmati indahnya pemandangan di Pantai Abukarai, Bandara Stevanus Rumbewas menjadi target selanjutnya yang akan dikunjungi.
***
Yaps, sarapan pagi di Warung Soto Pojok selesai.
Gue langsung berangkat menuju bandara dengan penuh rasa penasaran.
Baru 10 kilometer berlalu, jalanan berpasir sisa batuan kapur yang jatuh membuat perjalanan terasa menantang.
Bagaimana tidak, Sebelah kanan jalan yang juga menjadi pembatas jalan adalah tebing tinggi yang telah dikikis. Sedangkan, sebelah kiri jalan yaitu, jurang yang terdapat perpohonan dan batuan2 kecil yang akan menjadi pasir putih.
Selesai melewati jalan yang bersimbah pasir putih dengan debu yang membuat nafas sesah, perjalanan diteruskan menuju jalanan yang sedikit lebih kecil dengan lubang beraneka ukuran dimana-mana.
Walau banyak lubang, namun jalan rusak yang dilalui ini menyajikan pesona laut biru. Ngeri, mantap, serta alami. Hal itulah yang terpintas di kepala. Ngeri, karena sangat tinggi dengan pasir yang berserakan dan jurang yang siap menanti. Mantap, hijaunya gunung yang dilengkapi dengan lautan samudra, menambah sejuknya udara yang terasa lebih alami.
****
Sedang asiknya berkendara…
Baru tersadar, bensin belum sempat diisi full. Jauhnya perjalanan membuat jarum petunjuk bensin menuju titik E(empty). Sementara itu, perjalanan masih panjang dengan jalur yang terlihat lurus terus ke depan.
***
Sembari mengisi bensin, gue yang masih ragu dengan arah jalan menanyakan arah bandara kepada bapak penjual bensin.
”benar, lurus terus sampai bertemu persimpangan ke arah kanan”, ujar bapak yang menjual bensin.
Satu botol bensin dijual seharga 10.000 rupiah, cukup murah, karena infomasi yang diberikan jauh lebih berharga dari sekedar harga satu liter bensin.
Jalan yang dilalui tidak serta merta buruk semua. Tapi, jika tidak ada jalan yang buruk, mungkin gue tidak akan bercerita seperti ini, Hehe.
Gue memasuki jalanan lurus panjang sekitar 500 meter. Sepi dan tidak ada yang mengisi, kecepatanpun dimaksimalkan. Motor metik yang biasa dipakai untuk mengantar barang dari toko ke pelanggan bisa menempuh kecepatan sampai 120 km/jam. Sungguh keren untuk motor dinas yang jarang diservis.
Ngeeeeeaanggg …. Laju motor semakin menjadi-jadi. Terbukti dengan bunyi semakin keras terdengar dan gerataran yang semakin bertambah besar.
Mata mulai mengeluarkan air, karena Gue sama sekali tidak memakai helm. Tidak ada polisi dari awal perjalanan, cuyy. Jangankan itu, semenjak sampai di Kota Serui, Gue belum pernah memakai helm saat berjalanan kemana-kemana. Ya begitulah kebiasaan yang masih dilakukan sampai sekarang.
Belokan mulai terlihat, kecepatan dituruhkan demi sebuah keamanan. Baru sampai dibelokan pertama, kecepatan masih sekitaran 60 km/jam. Tiba-tiba saja jalanan berlubang menyamnut kedatangan gue.
(Tak tak kleka klekak) bunyi dentuman suspensi dan jok yang tidak terkunci karena bobot yang berat. Kecepatan langsung ditambah sesaat jalan mulus dilalui.
Jembatan yang berada setelah jalanan mulus tersebut menambah nafsu gue untuk lebih cepat berkendara, sehingga motor terus bertambah cepat sampai di jalan yang menanjak yang diteruskan dengan tikungan tajam.
Tak pernah ku sangka dan tak pernah ku duga…
Tiba-tiba, (Bruuuumnmmm) … “aaaaaakk”, teriak Gue saat jalan yang dilalui setelah jembatan, jalan menanjak serta tikungan dalam kondisi menurun tajam. Hati cemas perasaan takut datang, jika rem diinjak kuat-kuat, maka motor akan tergelincir.
***
Beberapa saat kemudian,“Yeeaahh,” Gue masih diberi keselamatan oleh tuhan. Motor yang melesat kencang bisa dikendalikan walau nyaris tergelincir saat rem belakang nge drift saat dibelokan.
Selamat, selamat, tangan kiri mengusap dada.
Selesai melewati jalan menurun, Gue sampai di persimpangan yang memiliki dua jalur yang sama. Layaknya jalur perpisahan antara Dominic Toretto dan Brain O’Corner di film Fast and Forious 7. Jalur dengan bentuk dan ukuran yang sama. Tanda papan jalan menjadi petunjuk yang jelas bagi Gue. Tidak ada tulisan, tanda petunjuk hanya ditempel simbol pesawat saja.
Rumah penduduk mulai terlihat, gue merasa seikit lebih lega. Sapaan demi sapaan tanda keakraban ala papua diucapkan. Jumlah rumah yang bisa dihitung dengan jari, hilang begitu saja dari pandangan setelah 300 meter jalan dilalui. Gue memasuki jalan yang lebih gelap karena bagian atas tertutupi oleh berbagai macam tumbuhan lebat.
Gue sampai pada simbol terakhir, petunjuk dengan gambar pesawat yang mengarah kesebelah kanan. Jalan sedikit lebar dengan pagar besi yang berada di sisi kiri kanan jalan.
Sampai di Bandara, Gue tidak melihat adanya orang-orang yang bekerja baik itu staf kantoran, satpam, serta karyawan lainnya. Rasa penasaran muncul ketika Gue ragu, apakah sudah di Banbara atau belum. Saat seorang bapak sedang menyapu lantai, beliau mengatakan, kegiatan kerja hanya sebentar saja, mengingat jumlah penerbangan hanya sekali dalam sehari dengan satu maskapai saja, pesawat Trigana Air yang terbang dari Jayapura – Serui – Biak – Serui – Jayapura dalam sehari.
Pantas sepi dan tidak terlihat aktifitas di Bandara. Dengan penuh penasaran, Gue langsung memasuki landasan pesawat dan mengabadikan sedikit momen berharga berupa bagian kiri kanan lintasan terdapat hutan, jarang-jarang motor bisa pribadi melintas di landasan pesawat.
Gue bersyukur memiliki jiwa nekat. Jika tidak ada kemampuan seperti itu, mungkin Gue tak akan pernah ke Bandara karena harus menunggu orang lain agar mau ikut dengan Gue.
Hikmah besar yang bisa diambil dari perjalanan gue kemaren itu. Saling menyapa walau tidak kenal dengan warga lokal, apalagi Papua yang dikenal memiliki ikatan persaudaraan yang kuat dengan sesama. Jika susah untuk tersenyum saat menyapa, klason kendaraan setidaknya bisa digunakan untuk menyapa, karena Papua bersaudara.
Hati-hati dalam menempuh perjalanan panjang dan tidak pernah dilalui. GPS yang tidak aktif karena sinyal yang tidak ada akan membuat orang yang biasa menggunakannya susah untuk mencari petunjuk jalan, disitulah sebuah keakraban yang diawali dengan sapaan digunakan. Warga lokal akan senang hati memberikan petunjuk arah yang jelas.
Nikmati setiap keindahan alam yang dilewati selama perjalanan berlangsung. Sekian dari terimakasih. Yuk, keluar dari zona nyaman dan pergi ke tempat yang baru
0 comments:
Post a Comment