footer social

Pages

Saturday, October 21, 2017

Jalan Menuju Bandara Stefanus Rumbewas, Yapen.

Setelah menikmati indahnya pemandangan di Pantai Abukarai, Bandara Stevanus Rumbewas menjadi target selanjutnya yang akan dikunjungi.

***
Yaps, sarapan pagi di Warung Soto Pojok selesai.
Gue langsung berangkat menuju bandara dengan penuh rasa penasaran.

Baru 10 kilometer berlalu, jalanan berpasir sisa batuan kapur yang jatuh membuat perjalanan terasa menantang.

Bagaimana tidak, Sebelah kanan jalan yang juga menjadi pembatas jalan adalah tebing tinggi yang telah dikikis. Sedangkan, sebelah kiri jalan yaitu, jurang yang terdapat perpohonan dan batuan2 kecil yang akan menjadi pasir putih.

Selesai melewati jalan yang bersimbah pasir putih dengan debu yang membuat nafas sesah, perjalanan diteruskan menuju jalanan yang sedikit lebih kecil dengan lubang beraneka ukuran dimana-mana.

Walau banyak lubang, namun jalan rusak yang dilalui ini menyajikan pesona laut biru. Ngeri, mantap, serta alami. Hal itulah yang terpintas di kepala. Ngeri, karena sangat tinggi dengan pasir yang berserakan dan jurang yang siap menanti. Mantap, hijaunya gunung yang dilengkapi dengan lautan samudra, menambah sejuknya udara yang terasa lebih alami.

****
Sedang asiknya berkendara…

Baru tersadar, bensin belum sempat diisi full. Jauhnya perjalanan membuat jarum petunjuk bensin menuju titik E(empty). Sementara itu, perjalanan masih panjang dengan jalur yang terlihat lurus terus ke depan.

***
Sembari mengisi bensin, gue yang masih ragu dengan arah jalan menanyakan arah bandara kepada bapak penjual bensin.

”benar, lurus terus sampai bertemu persimpangan ke arah kanan”, ujar bapak yang menjual bensin.

Satu botol bensin dijual seharga 10.000 rupiah, cukup murah, karena infomasi yang diberikan jauh lebih berharga dari sekedar harga satu liter bensin.

Jalan yang dilalui tidak serta merta buruk semua. Tapi, jika tidak ada jalan yang buruk, mungkin gue tidak akan bercerita seperti ini, Hehe.

Gue memasuki jalanan lurus panjang sekitar 500 meter. Sepi dan tidak ada yang mengisi, kecepatanpun dimaksimalkan. Motor metik yang biasa dipakai untuk mengantar barang dari toko ke pelanggan bisa menempuh kecepatan sampai 120 km/jam. Sungguh keren untuk motor dinas yang jarang diservis.

            Ngeeeeeaanggg …. Laju motor semakin menjadi-jadi. Terbukti dengan bunyi semakin keras terdengar dan gerataran yang semakin bertambah besar.

Mata mulai mengeluarkan air, karena Gue sama sekali tidak memakai helm. Tidak ada polisi dari awal perjalanan, cuyy. Jangankan itu, semenjak sampai di Kota Serui, Gue belum pernah memakai helm saat berjalanan kemana-kemana. Ya begitulah kebiasaan yang masih dilakukan sampai sekarang.

Belokan mulai terlihat, kecepatan dituruhkan demi sebuah keamanan. Baru sampai dibelokan pertama, kecepatan masih sekitaran 60 km/jam. Tiba-tiba saja jalanan berlubang menyamnut kedatangan gue.

(Tak tak kleka klekak) bunyi dentuman suspensi dan jok yang tidak terkunci karena bobot yang berat. Kecepatan langsung ditambah sesaat jalan mulus dilalui.

Jembatan yang berada setelah jalanan mulus tersebut menambah nafsu gue untuk lebih cepat berkendara, sehingga motor terus bertambah cepat sampai di jalan yang menanjak yang diteruskan dengan tikungan tajam.

Tak pernah ku sangka dan tak pernah ku duga…

Tiba-tiba, (Bruuuumnmmm) … “aaaaaakk”, teriak Gue saat jalan yang dilalui setelah jembatan, jalan menanjak serta tikungan dalam kondisi menurun tajam. Hati cemas perasaan takut datang, jika rem diinjak kuat-kuat, maka motor akan tergelincir.

***
Beberapa saat kemudian,“Yeeaahh,” Gue masih diberi keselamatan oleh tuhan. Motor yang melesat kencang bisa dikendalikan walau nyaris tergelincir saat rem belakang nge drift saat dibelokan.

Selamat, selamat, tangan kiri mengusap dada.

Selesai melewati jalan menurun, Gue sampai di persimpangan yang memiliki dua jalur yang sama. Layaknya jalur perpisahan antara Dominic Toretto dan Brain O’Corner di film Fast and Forious 7. Jalur dengan bentuk dan ukuran yang sama. Tanda papan jalan menjadi petunjuk yang jelas bagi Gue. Tidak ada tulisan, tanda petunjuk hanya ditempel simbol pesawat saja.

Rumah penduduk mulai terlihat, gue merasa seikit lebih lega. Sapaan demi sapaan tanda keakraban ala papua diucapkan. Jumlah rumah yang bisa dihitung dengan jari, hilang begitu saja dari pandangan setelah 300 meter jalan dilalui. Gue memasuki jalan yang lebih gelap karena bagian atas tertutupi oleh berbagai macam tumbuhan lebat. 

Gue sampai pada simbol terakhir, petunjuk dengan gambar pesawat yang mengarah kesebelah kanan. Jalan sedikit lebar dengan pagar besi yang berada di sisi kiri kanan jalan.

Sampai di Bandara, Gue tidak melihat adanya orang-orang yang bekerja baik itu staf kantoran, satpam, serta karyawan lainnya. Rasa penasaran muncul ketika Gue ragu, apakah sudah di Banbara atau belum. Saat seorang bapak sedang menyapu lantai, beliau mengatakan, kegiatan kerja hanya sebentar saja, mengingat jumlah penerbangan hanya sekali dalam sehari dengan satu maskapai saja, pesawat Trigana Air yang terbang dari Jayapura – Serui – Biak – Serui – Jayapura dalam sehari.

Pantas sepi dan tidak terlihat aktifitas di Bandara. Dengan penuh penasaran, Gue langsung memasuki landasan pesawat dan mengabadikan sedikit momen berharga berupa bagian kiri kanan lintasan terdapat hutan, jarang-jarang motor bisa pribadi melintas di landasan pesawat.

Gue bersyukur memiliki jiwa nekat. Jika tidak ada kemampuan seperti itu, mungkin Gue tak akan pernah ke Bandara karena harus menunggu orang lain agar mau ikut dengan Gue.

Hikmah besar yang bisa diambil dari perjalanan gue kemaren itu. Saling menyapa walau tidak kenal dengan warga lokal, apalagi Papua yang dikenal memiliki ikatan persaudaraan yang kuat dengan sesama. Jika susah untuk tersenyum saat menyapa, klason kendaraan setidaknya bisa digunakan untuk menyapa, karena Papua bersaudara.

Hati-hati dalam menempuh perjalanan panjang dan tidak pernah dilalui. GPS yang tidak aktif karena sinyal yang tidak ada akan membuat orang yang biasa menggunakannya susah untuk mencari petunjuk jalan, disitulah sebuah keakraban yang diawali dengan sapaan digunakan. Warga lokal akan senang hati memberikan petunjuk arah  yang jelas.

Nikmati setiap keindahan alam yang dilewati selama perjalanan berlangsung. Sekian dari terimakasih. Yuk, keluar dari zona nyaman dan pergi ke tempat yang baru

Friday, October 20, 2017

Jalan Tak Berujung


Jam 8 pagi waktu Indonesia timur.

Setelah sarapan di warung pojok dekat rumah, Gue berkeinginan jalan-jalan ke Manawi lagi. Banyak pemandangan serta tempat bagus yang menurut gue pantas dijadikan wisata rekomendasi bagi yang berkunjung ke Pulau Yapen.

Dengan semangat sentosa dan didukung oleh keinginan yang luruh, gue melangkahkan kaki, mengayunkan tangan menuju motor metik 110 cc yang tengah parkir di depan warung soto.
"Brum," mesin motor menyala.

Manawi merupakan salah satu daerah kecil di Pulau Yapen. Pertama kali sampai di daerah ini, tidak terlihat keramaian atau kebisingan dari kendaraan. Hanya beberapa motor yang lewat, ditambah dengan warga yang sedang melakukan aktifitasnya masing-masing.

-----
Menuju Manawi
Perjalanan ke Manawi cukup mendebarkan jantung. Jalanan yang basah dengan tanjakan tiada henti membuat gue harus mengatur kecepatan motor, hal tersebut bertujuan agar tidak terjadi kecelakaan tunggal seperti pengendara motor yang kecelakaan 2 hari yang lalu.

****
Alhamdulilah, 45 menit berlalu, gue sampai di Manawi.
Tujuan gue yang sebenarnya bukanlah ke Manawi, melainkan jalan-jalan ke lokasi baru yang belum diketahui. Keingintahuan mengenai Pulau yang memiliki wisata laut mempesona ini terus bertambah seiring banyaknya informasi yang diperoleh dari pelanggan toko asal daerah-daerah kecil di Pulau.

______
Jam 9 pagi.
Jalanan masih sepi, yang terlihat hanya beberapa orang dengan pakaian yang rapi.

"Hmm," Gue menyadari setelah melihat kemana mereka pergi. Ternyata masyarakat sekitar akan menjalankan ibadahnya.

Berhenti di salah satu kedai,
Gue beristirahat sejenak, kemudian minum air yang dibawa dari soto warung pojok tadi serta makan camilan kacang yang dibeli seharga 2.000 rupiah.

"Ahhh," keronggkongan segar dan gue melanjutkan perjalanan.

Walau jalur yang ditempuh dari Kota Serui ke Manawi tidak terlalu jauh, Gue tetap merasa lelah karena pengaruh jalan yang tidak rata serta banyaknya lubang-lubang kecil yang membuat suspensi motor bekerja lebih keras lagi menahan bobot tubuh gue yang beratnya mencapai 70 kg.

Selesai dan selesai, Manawi sudah dilalui.
Gue berkendara kemana saja, tidak menentu dan memilih berhenti di tempat yang pantas untuk transit atau beristirahat.

Di sepanjang jalan, akan banyak ditemui view indah.

Pantai menjadi satu dari banyaknya wisata yang menarik serta tidak pernah ada habisnya di Pulau ini. Oleh karena itu, Gue yang menyukai jalan-jalan tetap ingin berbagi informasi bagi warganet semua.

Okey... lanjut, kembali ke cerita.
***
Selesai bertanya kepada warga sekitar kemana arah perjalanan, Gue langsung melewati jalan beraspal, hanya bisa dilalui satu bis kota saja. Jalanan yang berliku serta banyaknya pendakian serta turunan tajam membuat gue harus lebih berhati-hati lagi saat berkendara di jalur hutan rimbun kepulauan Yapen.

Kendaraan tidak ada satupun yang lewat di dekat gue, termasuk kendaraan dari arah berlawanan juga tidak tampak.
Gue serasa memiliki jalur lintas ini, tidak ada lawan ataupun kawan.

Saat jalanan menurun, keheningan mulai terasa karena tarikan gas dikurangi sehingga bunyi mesin motorpun halus nyaris tidak terdengar. Bunyi-bunyian asing terdengar, seperti suara burung atau jenis unggas yang belum pernah dilihat. Selesai melewati jalur tengah hutan, gue sampai di jalur yang memperlihat panorama laut lepas serta pantai pasir putih tanpa adanya pengunjung.

Momen indah tersebut dimanfaatkan dengan memperlambat laju motor. Sesekali kamera standby untuk mengabadikan view pemandangan di tepi jalur lintas menuju Wadapi.

Saat mengabadikan pemandangan indah serta berkendara dengan motor yang masih melaju lambat, Gue teringat dengan pantai pasir putih saat dikunjungi 2 minggu yang lalu. Pantai indah dengan karangnya yang berwarna warni membuat gue ingin sekali mengunjungi pantai tersebut, lagi dan lagii.

Untuk sampai ke Pantai pasir putih, gue harus teliti saat melihat jalan masuk menuju pantai. Gerbang tidak ada, namun lokasi pantai bisa ditemukan jika Gue sendiri melihat jalan kecil dengan turunan tajam yang berada di sebelah kanan jalur lintas. Itulah petunjuk yang diperoleh dari berbagai sumber.

Perjalanan masih berlangsung, tapi jalan kecil menuju pantai tidak bersua. Gue meneruskan perjalanan hingga tersadar bahwa gue telah melewati jalan kecil ke pantai pasir putih. Hal tersebut terbukti saat melintasi jalur dengan banyaknya bahan bangunan serta kikisan batuan putih di tepi jalan, jalur yang memang tidak gue lalui saat ke pantai pasir putih.

Gue mulai merasakan aroma petualangan yang baru saja dimulai. Sinyal di hp tidak ada dan kendaraan lain tidak terlihat melewati jalur yang sama. Berhenti sejenak melepas penat, "waw," pemandangan indah lagi-lagi tersaji saat gue melihat ke belakang.

Panorama laut lepas seperti yang terlihat di serui laut juga ada, namun pada ujung penglihatan terdapat pulau yang dikelilingi oleh pasir putih. Memang berbeda dan tidak ada bosannya saat mata memandangi pasir putih yang menghiasi pulau kecil di depan mata.

Waktu menunjukkan jam 9.38 menit. Semakin siang, namun rasa penasaran terus membawa gue menembus jalan yang tidak tahu kemana ujungnya. Gue terus berkendara, sampai akhirnya jalan dengan aspal yang halus selesai dilewati. Jalan yang tidak rata ditambah lagi dengan banyak pasir serta batuan mengiri perjalanan.

Lagi-lagi, ketika sampai di jalan yang menanjak, Gue sampai di panorama yang memperlihatkan laut lepas, lebih tinggi, apalagi jalanan tersebut masih berbentuk tanah kering. Ketika gue mengambil beberapa momen menarik disana, gue bertemu dengan seorang bapak membawa gitar yang sedang berjalan menuju rumah ibadahnya.

Motor berhenti di depan si bapak berbaju putih,
"selamat pagi bapak," ujar gue dengan senyum senang.

"Pagi adek," jawab bapak.

"Mau tanya bapak, ke daerah sana itu daerah apa ya pak," pertanyaan langsung dari gue.

"Oh, kalau kesana, itu menuju wadapi terus lagi ke kokodek, adek tinggal ikuti jalan ini saja, tapi masih jelek sih jalurnya," terang bapak dengan lemah lembutnya.

"Ow begitu, ada aman itu pak," tanya gue dengan bahasa indonesia minang.

"Ih iya,?" Bapak sedikit bingung dengan ucapan gue.

"Madsudnya, aman nggk pak, jika lewat sana,?" Tanya gue dengan perasaan ragu, apakah ingin kesana atau tidak.

"Aman kok, emang mau kemana ?" tanya balik si bapak.

"Mau jalan-jalan aja sih pak,"

"Hmm, okeyyy"

"Makasih ya pak buat informasinya," ucap gue saat mengakhiri pembicaraan yang hanya sebentar.

"Sama2," jawab bapak, beliau kemudian melanjutkan jalan kaki.

Gue merasa kurang sopan terhadap si bapak. Betapa tidak, seharusnya sebelum bertanya kepada orang yang lebih tua, ada baiknya kita sebagai yang lebih muda turun terlebih dahulu kemudian baru bertanya. Basa basipun tidak masalah selagi itu tidak membuat seseorang merasa tersinggung dengan sikap kita.

Walaupun terburu-buru, kita musti tetap turun dari kendaraan dan melempar senyum terlebih dahulu sebelum percakapan dimulai.
Selesai bercakap-cakap dengan bapak yang belum diketahui namanya tadi, gue melanjutkam perjalanan menuju Wadapi yang katanya hanya beberapa meter lagi sampai.

Tujuan utama sebenarnya bukanlah Wadapi, melainkan ujung jalan di pulau ini. Namun, karena memperoleh petunjuk dari berbagai nara sumber seperti bapak tadi, gue hanya menargetkan perjalanan menuju kawasan Kokodek saja.

Teringat ucapan bapak baju putih, "jalur menuju kesana lumayan jauh lagi adek, pendakian panjang dengan jalan yang banyak batu harus dilalui terlebih dahulu," kalimat yang membuat gue terus bersemangat dan penasaran kemana jalur ini akan mengantar gue.

Setelah melewati jalan tanah kering dengan abu yang semakin banyak, Gue memasuki gerbang kampung Sion, tulisan yang tertera pada gerbang yang ukurannya muat untuk satu mobil saja.

Sebelah Gerbang Sion
Setelah memasuki gerbang, ternyata kawasan yang gue lewati merupakan Wadapi, Gue yakin jika daerah tersebut adalah wadapi karena sebuah papan menunjukkan nama "Distrik, Jalan Serui Sumberbaba, Wadapi,"

Papan Distrik Jalan Serui Sumberbaba
Yap, itulah tandanya yang gue yakini benar adanya.

Gue berhenti sejenak, melihat sekeliling area yang di tempati oleh beberapa rumah warga saja. Saat melihat lurus ke depan, gue mendapati 2 mobil jeep dengan satu mobil sedan.

Gue penasaran dan langsung menuju kesana. Hmmm, ternyata ada rumah gereja dengan banyak masyarakat yang sedang sembahyang. Perjalanan akhirnya gue lanjutkan terus ke tempat yang semakin tidak ada penghuninya, alias jalan dengan banyaknya kerikil.

Rasa penasaran terus menyuruh agar terus berkendara sampai ke tempat yang tidak tahu kemana. Kembali teringat ucapan bapak baju putih, daerah Kokodek berada setelah Wadapi dengan sedikit mengikuti jalan buruk menanjak.

Seperti film kartun let's and go, mobil masih bersemangat, ingin terus sampai di garis finis. Begitu juga khayalan gue, motor masih ingin terus melaju walau jalan sudah tidak rata lagi.

Tiba-tiba saja Gue teringat dengan janji yang harus ditepati bersama sepupu. Gue akan pergi ke Santai Sarwandori bersama saudara yang lainnya setelah zuhur. Sementara itu, waktu sudah menunjukkan pukul 9.50. Gue membatasi perjalan an sampai jam 10 saja agar bisa balik sebelum masuknya waktu zuhur.
10 menit tersisa, gue terus melaju tanpa hambatan.

"Bruk," bunyi suspensi saat menahan menahan beban berat, yaitu gue.

Suara aneh terdengar, ntah itu suara burung atau hewan lain, gue juga tidak tahu pasti. Yang jelas, waktu sudah menunjukkan jam 9.59, artinya gue harus kembali walau apapun yang terjadi.

Daerah Kokodek masih menjadi misteri bagi gue, karena belum bertemu serta menginjakkan kaki kesana.

Gue memutuskan kembali ke kota Serui.

-----
Perjalanan balik dimulai....
Pas jam 11 Siang
Hati serta pikiran sudah sinkron mengatakan, "sebaiknya pulang, waktu sudah semakin siang,"
Berbeda dengan fisik dan nafsu, "mending kamu lanjutin aja ri, nanggung woi,"
Gue bingung dengan jalan pikiran dan badan yang tidak sejalan ini. Berfikir kembali dan melihat keadaan sekitar yang penuh dengan hutan hijau yang rimbun.

Mata masih tertuju ke kiri kanan depan belakang tempat berdiri dan, "trraakkk," bunyi sesuatu yang menurut gue adalah seekor makluk buas yang siap menerkam.

"Ya allah," gue terkejut.

"Ah, mending pulang," bisikan keras dari fisik yang ternyata juga merinding saat mendengar suara tersebut.

Walau rasa takut menghampiri, momen penting masih tetap direkam.

Gue memutar balik motor, kemudian melanjutkan perjalanan balik menuju kota Serui. Sekali lagi, jalanan buruk harus dilalui dengan penuh kehati-hatian. Jalanan yang sudah hafal membuat gue mempercepat laju motor. Tidak ada keraguan yang mengganggu perjalanan kembali dari Wadapi.

Saat melewati panorama laut yang indah, Gue berhenti dan kembali memandangi indahnya ciptaan tuhan yang semakin siang semakin jelas terlihat warna warni karang-karang yang menghiasi tepian pantai.

Dalam perjalanan pulang, gue ingin memastikan tanda dari gerbang masuk pantai pasir putih. Motor yang sudah melaju dari jam 8 pagi masih kuat melaju kencang. Tikungan demi tikungan terlewati dengan santainya, akhirnya gue sampai di gerbang masuk pantai pasir putih.

"Masuk nggk ya," tanya diri dalam hati.
Tanpa berfikir panjang, gue masuk ke jalan kecil menuju pantai pasir putih Manawi.

Jalur yang ditempuh lumayan sulit, karena licin dan banyak batuan yang harus dilewati. Guncangan demi guncangan membuat gue harus berhati-hati saat berkendara.

Sampai di bibir pantai, terlihat air laut masih surut dan pasir putih indah terpancar terang. Reflek, gue langsung membawa motor dan jalan-jalan mengitari pasir putih.

Gue kembali melakukan tindakan yang nyaris membuat motor tidak bisa melaju kembali. Sisi lain dari bibir pantai yang terdapat air berkedalaman hanya 5 cm dilalui tanpa ada pemikiran jatuh atau terjadi hal yang tidak diinginkan. Cipratan mengarah kemana-mana, Gue merekam perjalanan di bibir pantai dengan jalur yang tidak rata. Lubang kecil bekas galian hewan-hewan kecil terdapat dimana-mana, menyebabkan kesimbangan terganggu, ibarat gempa berkekuatan 8 SR.

Nyaris dan nyaris sekali kamera jatuh dari pegangan. Gue tidak memberhentikan motor saat guncangan dialami, sebab jika berhenti, maka sendal akan basah dan rekaman video tidak dapat diperoleh.

Saat perjalanan masih berlangsung, kamera akhirnya terlepas. Beruntung, kamera yang terbentur dengan stang langsung ditendang hingga jatuh ke bibir pantai pasir yang kering.
"Selamat," ujar gue dalam hati.

Walau terbentur keras ke stang, kemudian tertendang sampai mengenai batu di bibir pantai yang masih kering, kamera masih aman dan tidak mati, mujuuurr.

Dengan bego nya, motor Gue berdirikan dengan standar dua kaki diatas permukaan pasir yang masih terdapat air setinggi 2 cm. Karena panik saat mengambil kamera, motor yang berada di posisi miring ke kiri ditinggal begitu saja dalam keadaan masih menyala.

Alhasil, karena pengaruh getaran yang disebabkan oleh mesin motor menyala, permukaan pasir menjadi lebih lembab dan motor yang semakin miring ke sebelah kiri akhirnya jatuh.
Walau sudah rebah, motor masih dalam keandaan hidup. Gue kemudian membawa motor keluar permukaan, dan tidak cukup sampai disitu, lubang kembali menjadi momok paling mengerikan bagi petualangan Gue di Pantai. Saat motor dibawa keluar area pasir berair, motor tiba-tiba saja mati.

"Haddeuuhhh," ujar gue dalam hati.

Suasana hening bercampur panas terik jam 11 siang, ditambah lagi dengan motor yang tiba-tiba mati. Lengkap sudah rasa lelah gue, motor yang tidak menyala diletakkan di permukaan pasir yang kering, berdiri dengan standar duanya.

Gue duduk sejenak di atas batu, menghela nafas dalam-dalam dan menenangkan diri di bawah pohon kecil di tepian pantai.

Lagi, gue terdiam dan memikirkan kelakuan aneh yang terjadi.

Kulit semakin hitam, Gue kemudian membawa motor ke tempat yang lebih nyaman untuk berteduh. Gue memeriksa kerusakan yang terjadi. Ternyata busi motor basah karena cipratan air saat gue melewati permukaan pasir putih yang digenangi air.

Setelah mengeringkan serta membersihkan kotoran yang mengenai busi. Motor kembali dinyalakan, dan “brumm” hidup kembali. Gue memberanikan diri membawa motor sampai ke permukaan pasir putih yang masih lembab.
Jepret jepret, momen motor yang difoto dengan pemandangan laut luas di atas pemukaan pasir berhasil diabadikan.

______
Masih Aman dan Nyaman
Tanggung jika gue tidak mencoba pergi ke gunungan pasir yang berjarak hanya 30 meter dari tempat bersantai saat itu. Tering matahari seketika itu hilang dari pikiran. Gue bersemangat lagi saat menuju ujung gunungan tanah berwarna kuning yang dihiasi batu-batuan.

Gue sekali lagi membawa motor yang sudah kotor dengan pasir yang sudah banyak menghiasi seluruh bodi motor sampai-sampai membuat velg berubah warna dari hitam pekat menjadi abu kehitaman.

Walau sudah terang, tapi gue masih merasakan ngeri ketika berada di pantai dengan air yang tenang.

Gue masih mempunyai khayalan seperti anak-anak. Pantai yang tenang dengan air yang berwarna biru kehijauan mengingatkan Gue dengan cerita Aligator, film yang mengisahkan anak-anak muda yang sedang liburan ke pantai. Kebanyakan meninggal ketika berada di pantai karena di makan sang predator. Hal tersebut masih tetap menjadi ketakutan bagi gue, apalagi jika pergi bertualang ke tempat yang baru.

Waktu sudah menunjukkan jam 11.30 menit. Gue menyudahi perjalanan di pantai pasir putih Manawi. Perasaan lega dan senang diperoleh selama 3 jam berada di zona baru yang memang belum pernah dilalui sebelumnya.

Gue kembali ke Serui, mengikuti keluarga serta sanak famili yang akan pergi ke pantai Almaera, bukan pantai Sarwandori. Bagi gue, tidak ada yang tidak mungkin bisa dilalui selagi mau mencobanya. Tetap konsisten dengan keputusan yang diambil tanpa merugikan orang lain.

_____
Selfie Dulu
Dan, jangan terlalu takut jika kau tersesat. Berharap ada seseorang yang membantu, itu saj sah saja. Namun, jangan terlalu berharap lebih sampai-sampai kau lupa dengan tujuan yang sebenarnya.

Smile, you don't cry

Tuesday, October 17, 2017

Rejeki Datang Bergiliran

Rezeki yang diberikan oleh Allah itu bergiliran.
Kenapa, karena gue mengamati dari beberapa bulan berjualan di Toko, tidak semua pedagang mengalami nasib yang sama satu dengan lainnya.

Nasib yang di maksud adalah, hasil jualan yang didapat setiap hari berbeda-beda.Tempat gue jualan berada di deretan toko tepat depan pasar ibu kota. Hari senin gue melihat, toko yang berada di ujung selalu didatangi oleh pembeli, baik itu langganan atau pembeli baru. Sedangkan di tempat gue serta toko yang berada di sebelah mengalami hal yang berbeda, sepi, dan hanya beberapa orang saja yang berbelanja.

Selasa menjadi hari yang nyaris sama dengan yang kemarin, hasil yang gue dapatkan hanya mengalami kenaikan 10 %saja. Namun, toko ujung mengalami nasib yang tidak jauh berbeda dari sebelumnya. Mereka mengalami penurunan, namun tidak terlalu besar.

Hal berbeda terjadi pada toko yang berada di antara toko gue dengan toko yang di ujung. Mereka mengalami kenaikan yang besar, penjualan berjalan lancar dengan hasil yang tentunya lebih besar juga.

Gue mulai berfikir, mereka yang memang lebih berpengalaman cenderung tidak mengeluh dan bersikap biasa-biasa saja, layaknya melewati hari dengan senyum ramah di muka.

***
Keesokan hari, Gue memperoleh hasil jualan yang cukup besar. Mulai pagi sampai malam hari tangan tidak hentinya memberikan barang kepada pembeli. Hasil yang melebihi target minimal membuat gue mulai bertanya, dan menjawab sendiri bahwa rezeki memang sudah ada yang mengatur.
2 - 3 hari hasil jualan gue terus meningkat di atas target rata-rata. Saat gue melihat ke toko sebelah dan ujung, yang terlihat hanya satu dua orang yang lewat atau singgah. 

Perlahan, Gue menyadari rezeki memang tuhan yang mengatur. 
Namun, mengatur seperti apa ?, Hanya tuhan yang akan memberikan jawaban dan petunjuk. Cara atau proses, kita sebagai manusia yang diberikan hak untuk berfikir, apakah rezeki tersebut diatur berdasarkan giliran, tempat atau waktu.

Kita hanya bisa berusaha dan berdoa agar diberi jalan serta hasil terbaik yang pantas untuk diterima pada hari itu juga.



Namanya juga, Bosssss