Disinilah Ane sekarang, negeri yang memiliki banyak sumber daya alam melimpah ruang,
negeri yang selalu mempertahankan tradisi kebudayaan leluhur, serta negeri yang
senantiasa hidup dalam kebahagiaan.
Hampir
3 tahun ane berada di Papua, tepatnya di Kepulauan Yapen, dengan ibu kota Serui. Secara spesifik, ane
juga nggak tau berapa luas daerah ini, tapi jika dihitung dengan waktu, butuh
waktu sekitar 30 menit dengan menggunakan pesawat dari Biak.
Disini,
Ane bekerja sebagai karyawan toko hp. Dengan banyak interaksi, sedikit
banyaknya ane mempelajari bagaimana warga saling bersosialisasi, serta
sifat-sifatnya yang kadang bikin ane semakin penasaran dengan warga disini.
Beberapa
hal berkaitan dengan keseharian juga ane saksikan disini,
Mace
dan Pace, panggilan untuk Mama dan Papa … atau
“Ipar”,
sama dengan kawan, agar terlihat lebih akrab.
Awalnya
ane ngerasa bingung dengan ucapan yang terlontar dari salah satu langganan.
“oi,
ipar, ko bisa ajar saya bikin hp ini jadi benarkah,” ujar salah seorang pelanggan
yang meminta diajarkan bagaimana menginstal salah satu aplikasi telah dikirim.
Lama
kelamaan ane mulai menyadari, dan mengikuti panggilan akrab bagi warga asli
sini. Ya, alhasil panggilan tersebut mulai terbiasa ane lakukan,bukan bermadsud
meniru, namun hal yang sekiranya patut diikuti, ada baik dilakukan juga.
Berkendara
menjadi satu-satunya hobi yang membuat ane senang, dan kembali fresh dari berbagai pekerjaan. Setiap
hari, setiap waktu sholat, ane selalu pergi ke masjid, kecuali subuh. Semua masjid
telah ane datangi, mulai dari bagian barat sampai ke timur pulau. Ada 9 masjid
yang telah ane kunjungi, namun masjid di daerah Dawai yang hanya dua kali ane kunjungi,
itupun saat beristirahat dari touring Serui – Dawai. Lokasi yang jauh sekitar
70 km dari kota membuat ane jadi berfikir berkali-kali untuk kesana, bukan
karena jarak, melainkan jalur yang ane hadapi susah dilalui, mulai dari jalan
yang tidak ada aspal, alias masih tanah, dan dikelilingi hutan. Selain itu,
kadang terjadi pemalakan saat ane melewati kampung disana. Peristiwa yang
pernah ane alami terjadi saat ane beserta kawan-kawan pergi ke Dawai, sekedar
melepas jenuh dari sepinya jual beli dibulan itu.
Perjalan
ke Dawai menjadi salah satu perjalanan menarik yang dapat menyadarkan ane betapa
pentingnya hubungan sosial yang baik. Kembali ke pemalakan, peristiwa terjadi
saat ane kami pulang dari Dawai, Ada 4 jembatan yang dilewati, kami dipalak di
jembatan yang ketiga, ketika itu kami melewati salah satu kampung jam 7 malam,
kami diharuskan membayar sebanyak 300.000 agar bisa lewat. Dengan segala
kerendahan hati, bos ane yang ketika itu ikut, langung membayar agar masalah
tidak semakin larut. Dan, kami kembali jam 10 malam, dikarenakan perjalanan
yang melewati hutan, dan penerangan hanya berasal dari lampu motor dan
mobil. Perjalanan tersebut tentunya menjadi salah satu perjalan paling menarik
bagi ane.
Selain
ke Dawai, ane juga pernah ke Pantura pulau Yapen, lokasi yang hampir sama
jauhnya dengan Dawai, hanya saja jalur yang ditempuh tidak se ekstrim Dawai.
Ane juga pergi dengan menggunakan motor metik. Beruntung, perjalanan saat itu
menambah deretan pengalaman menarik ane selama tinggal di Pulau Yapen.
Luas
kota serui seakan membuat ane hidup
dalam sebuah kurungan. Mau keluar kota harus berfikir bekali-kali, walau
dikatakan salah satu kota yang aman di Papua, ane kadang memberanikan diri
keluar sendirian dari kota, menelusuri jalur-jalur yang cukup jauh dari kota.
Motor yang biasa ane gunakan sehari-hari, baik itu kerja ataupun jalan-jalan
adalah metik, itupun milik bos, motor bersejarah, saksi perjuangan doi sedari
berjualan barang-barang elektronik kecil sampai menjadi pengusaha sukses dengan
berbagai barang jualan yang semakin banyak pula.
Ane
dapat pinjaman motor setelah motor tersebut mengalami kerusakan, terutama pada
bodi yang bisa dikatakan 80% rusak, mau tidak mau, agar menjadi lebih baik dan
enak dipandang, ane meyakinkan bos agar dapat pinjaman motor dengan membeli
sendiri bodi motor satu set full serta mengembalikan beberapa fungsi seperti
semula, 3 juta cukup untuk meyakinkan bos agar dapat pinjaman motor tersebut.
Seseorang
mengatakan, “kenapa nggak beli motor aja,” seakan mengatakan ane terlalu bodoh
mengeluarkan badget yang cukup besar
untuk memperbaiki motor lama yang memang sudah jarang dipakai. Tapi, bukan itu
masalahnya, melainkan ane juga bingung, butuh waktu berapa lama agar ane bisa mengumpulkan
uang untuk membeli satu unit motor.
Ya,
bukanlah perkara mudah untuk menentukan semua itu, karena harus berfikir
berkali-kali untuk menentukan pilihan yang tepat.
So, tidak ada salahnya juga,
menambah pengalaman sekalian bertualang.
0 comments:
Post a Comment