footer social

Pages

Sunday, January 5, 2020

Minggu Kesembilan, Siang Terik nan Sejuk di Sekeloa Bandung


Salam walking guys
Hati gue bertanya-tanya kemana kaki akan melangkah setelah turun dari bus nanti. Sontak terbesit nama “zendi” panggilan akrab teman gue yang bertempat tinggal di Sekeloa, sekitar 2 kilometer dari tempat gue berdiri saat ini. Perjalananpun dimulai setelah gue membayar tarif sekitar 8.000 rupiah dan turun melalui pintu depan.
Saat turun dari bus, gue langsung disambut oleh angkot berwarna putih.
“teeetttt,” bunyi bus yang nyaris menabrak angkot yang tiba-tiba langsung berbelok kiri dan berhenti di tepi jalan depan kampus.
“pak, maju ke depan lagi pak,” kata supir bus.
Angkot tidak bergerak sedikitpun, “teeeettttt,” klakson bus semakin keras sehingga membuat gue menutup telinga. Gue jadi memperhatikan sifat dari supir angkot yang tidak mau berpindah, seolah-olah tidak mendengar teriakan bus.
Sebagai warga Indonesia yang baik, alangkah mulianya jika saat mencari uang, kita tidak merugikan orang lain. Bus akan segera berangkat, namun karena ada angkot yang tidak mau maju, sehingga bus tidak bisa memutar balik menuju penumpang.
Beberapa langkah gue berjalan, gue melihat kondektur bus berjalan menuju angkot yang tengah santai menunggu penumpang.
            “Makasih mang,” ucap kondektur bus.
Akhirnya, permasalahan selesai setelah pak kondektur bus datang, meminta baik-baik agar supir angkot mau beranjak dan memajukan kendaraan agar bus bisa lewat. Sementara itu, gue langsung melanjutkan perjalanan menuju ke jalur yang ramai kendaraan depan SPBU dan belok kanan menuju Sekeloa melewati jalan yang sedikit menanjak.
Langkah demi langkah dimulai.
Siang hari, terik matahari menemani perjalanan gue ketika menempuh jalan yang menanjak, kemudian langsung mengambil jalan pintas menuju jalur besar Jalan Sekeloa. Badan mulai berkeringat membasahi baju yang belum sempat dicuci. Walau begitu, kegelisahan belum mengahampiri jalan-jalan siang gue yang semakin terasa panas.
Jalan terasa semakin sempit dengan macetnya jalur yang dilewati, banyaknya mobil yang melewati jalan serta motor yang tidak mau memberi ruang menyebabkan macet sepanjang jalan sampai ke persimpangan menuju Jalan Sekeloa.
Macet sudah terjadi sejak mobil sedan yang rendah tidak mau melewati polisi tidur ketinggian sekitar 7 -`10 cm. Pejalan kaki serta warga yang memakai motor sudah membimbing jalannya mobil. Entah takut atau masih ragu melewati tanggul kecil, gadis yang membawa mobil tersebut tidak berani melewati tanggul yang sebenarnya bisa dilewati. Selain tidak berani melewati tanggul, dinding pagar yang berada di sebelah kiri mobil juga menjadi penyebab gadis tidak berani menjalankan mobilnya. Tiba-tiba, seorang pemuda yang sedang membawa motor gede mengetuk kaca jendela mobil gadis tersebut. Gadis dalam mobil akhirnya mengikuti ajakan dari pemuda yang tersenyum sambil mengatur arah berjalannya mobil agar tidak tergores oleh dinding pagar.
Mobil sedan akhirnya berhasil melewati polisi tidur serta dinding yang hanya berjarak 1 – 2 cm dari bagian kiri mobil. Pemuda yang juga sedang pergi menggunakan motor gedenya terus melintas di depan mobil sedan. Bak seorang putri raja, gadis tersebut terlihat seperti dikawal oleh pemuda tersebut sampai di ujung penglihatan gue.
Semua kendaraan kembali melanjutkan perjalanannya, serta gue terus berjalan menuju persimpangan menuju Jalan Sekeloa. Sejuknya udara yang berada di satu pohon membuat gue berhenti sejenak sebelum sampai di kosan Zendi. Sembari melepas lelah, gue mendengarkan lagu ala-ala pantai sehingga gue nyaris tertidur di bawah pohon tinggi tersebut.
Badan mulai segar kembali, Gue sesegera mungkin beranjak dari pohon karena cuaca mulai gelap dan akan turun hujan beberapa menit. Sampai di persimpangan kosan Zendi, gue melihat banyaknya kendaraan warga di sekitar, namun tidak ada keramaian seperti yang dirasakan di kampung halaman. Komplek perumahan yang selalu ramai oleh ibu-ibu rumah tangga yang selesai berbelanja dan bercerita. Gue berfikir, mungkin kebanyakan ibu-ibu di wilayah ini adalah wanita karier, sehingga jarang bersosialisasi dengan teman-teman sekitar. Gue juga tidak bisa menebak, hanya bisa menduga dan tidak ingin berfikir buruk.
20 meter berlalu dari perumahan, Gue sampai di Kosan Zendi dan memanggilanya agar membuka pagar kosan. Walau hanya sebentar, perjalanan ini tetap memberi pelajaran berharga bagi gue untuk tidak berfikir buruk tentang apa saja yang terlihat. Alangkah baiknya inisiatif lebih cepat dilakukan daripada hanya melihat orang lain mengalami kejadian yang tidak bisa ditangani sendiri. Kita sebagai manusia merupakan makhluk sosial yang saling membantu dan memberi apapun satu sama lainnya.

0 comments:

Post a Comment

Namanya juga, Bosssss