Salam
walking guys
Hati
gue bertanya-tanya kemana kaki akan melangkah setelah turun dari bus nanti.
Sontak terbesit nama “zendi” panggilan akrab teman gue yang bertempat tinggal di
Sekeloa, sekitar 2 kilometer dari tempat gue berdiri saat ini. Perjalananpun
dimulai setelah gue membayar tarif sekitar 8.000 rupiah dan turun melalui pintu
depan.
Saat
turun dari bus, gue langsung disambut oleh angkot berwarna putih.
“teeetttt,”
bunyi bus yang nyaris menabrak angkot yang tiba-tiba langsung berbelok kiri dan
berhenti di tepi jalan depan kampus.
“pak,
maju ke depan lagi pak,” kata supir bus.
Angkot
tidak bergerak sedikitpun, “teeeettttt,” klakson bus semakin keras sehingga
membuat gue menutup telinga. Gue jadi memperhatikan sifat dari supir angkot yang
tidak mau berpindah, seolah-olah tidak mendengar teriakan bus.
Sebagai
warga Indonesia yang baik, alangkah mulianya jika saat mencari uang, kita tidak
merugikan orang lain. Bus akan segera berangkat, namun karena ada angkot yang
tidak mau maju, sehingga bus tidak bisa memutar balik menuju penumpang.
Beberapa
langkah gue berjalan, gue melihat kondektur bus berjalan menuju angkot yang
tengah santai menunggu penumpang.
“Makasih mang,” ucap kondektur bus.
Akhirnya,
permasalahan selesai setelah pak kondektur bus datang, meminta baik-baik agar
supir angkot mau beranjak dan memajukan kendaraan agar bus bisa lewat.
Sementara itu, gue langsung melanjutkan perjalanan menuju ke jalur yang ramai
kendaraan depan SPBU dan belok kanan menuju Sekeloa melewati jalan yang sedikit
menanjak.
Langkah
demi langkah dimulai.
Siang
hari, terik matahari menemani perjalanan gue ketika menempuh jalan yang
menanjak, kemudian langsung mengambil jalan pintas menuju jalur besar Jalan
Sekeloa. Badan mulai berkeringat membasahi baju yang belum sempat dicuci. Walau
begitu, kegelisahan belum mengahampiri jalan-jalan siang gue yang semakin
terasa panas.
Jalan
terasa semakin sempit dengan macetnya jalur yang dilewati, banyaknya mobil yang
melewati jalan serta motor yang tidak mau memberi ruang menyebabkan macet
sepanjang jalan sampai ke persimpangan menuju Jalan Sekeloa.
Macet
sudah terjadi sejak mobil sedan yang rendah tidak mau melewati polisi tidur ketinggian
sekitar 7 -`10 cm. Pejalan kaki serta warga yang memakai motor sudah membimbing
jalannya mobil. Entah takut atau masih ragu melewati tanggul kecil, gadis yang
membawa mobil tersebut tidak berani melewati tanggul yang sebenarnya bisa
dilewati. Selain tidak berani melewati tanggul, dinding pagar yang berada di
sebelah kiri mobil juga menjadi penyebab gadis tidak berani menjalankan
mobilnya. Tiba-tiba, seorang pemuda yang sedang membawa motor gede mengetuk
kaca jendela mobil gadis tersebut. Gadis dalam mobil akhirnya mengikuti ajakan
dari pemuda yang tersenyum sambil mengatur arah berjalannya mobil agar tidak
tergores oleh dinding pagar.
Mobil
sedan akhirnya berhasil melewati polisi tidur serta dinding yang hanya berjarak
1 – 2 cm dari bagian kiri mobil. Pemuda yang juga sedang pergi menggunakan
motor gedenya terus melintas di depan mobil sedan. Bak seorang putri raja,
gadis tersebut terlihat seperti dikawal oleh pemuda tersebut sampai di ujung
penglihatan gue.
Semua
kendaraan kembali melanjutkan perjalanannya, serta gue terus berjalan menuju
persimpangan menuju Jalan Sekeloa. Sejuknya udara yang berada di satu pohon
membuat gue berhenti sejenak sebelum sampai di kosan Zendi. Sembari melepas lelah,
gue mendengarkan lagu ala-ala pantai sehingga gue nyaris tertidur di bawah
pohon tinggi tersebut.
Badan
mulai segar kembali, Gue sesegera mungkin beranjak dari pohon karena cuaca
mulai gelap dan akan turun hujan beberapa menit. Sampai di persimpangan kosan
Zendi, gue melihat banyaknya kendaraan warga di sekitar, namun tidak ada
keramaian seperti yang dirasakan di kampung halaman. Komplek perumahan yang
selalu ramai oleh ibu-ibu rumah tangga yang selesai berbelanja dan bercerita. Gue
berfikir, mungkin kebanyakan ibu-ibu di wilayah ini adalah wanita karier,
sehingga jarang bersosialisasi dengan teman-teman sekitar. Gue juga tidak bisa
menebak, hanya bisa menduga dan tidak ingin berfikir buruk.
20
meter berlalu dari perumahan, Gue sampai di Kosan Zendi dan memanggilanya agar
membuka pagar kosan. Walau hanya sebentar, perjalanan ini tetap memberi
pelajaran berharga bagi gue untuk tidak berfikir buruk tentang apa saja yang
terlihat. Alangkah baiknya inisiatif lebih cepat dilakukan daripada hanya
melihat orang lain mengalami kejadian yang tidak bisa ditangani sendiri. Kita
sebagai manusia merupakan makhluk sosial yang saling membantu dan memberi apapun
satu sama lainnya.
0 comments:
Post a Comment