Salam
walking guys
Kemaren,
gue memperoleh pelajaran yang menarik untuk dijadikan bahan untuk mawas diri.
Peristiwa tak terlupakan gue peroleh saat berjalanan-jalan dari gerbang
Cileunyi menuju kampus di Jatinangor. Seorang bocah kelas 1 SMA yang mengingatkan
gue pentingnya perhatian orang tua untuk anaknya.
Saat
perjalanan yang menempuh jarak 3,7 km, tepatnya di pertigaan jalan antara arah
menuju Jatinangor ke kanan dan Cibiru ke kiri, Gue mendapati seorang remaja
yang juga berjalan kaki dengan baju yang kusam.
Gue
yang saat itu sedang memikirkan strategi bagaimana agar blog gue bisa
menghasilkan uang dengan cepat, bertemu lagi dengan remaja tersebut pas didepan
SPBU. Seolah-olah kami berjalan beriringan menuju arah yang sama. Saat melewati
jalan raya depan IPDN, gue mempercepat langkah agar bisa mendahului dia yang
masih sibuk melihat ke belakang, mencari mobil yang bisa ditumpangi.
Sedang
asik mendengar lagu dari headset,“a’ mau kemana?“, tanya bocah SMA yang
tersenyum melihat gue seperti orang yang sok berani berjalan melewatinya
Giu
berhenti, “oh, saya mau ke kampus mas”,
“mas,
mau kemana emang”,
“mau
ke Sumedang sih”,
“ooohhh”,
Gue terus berjalan beriringan dengan dia.
Saat
perjalan menuju kampus, gue terlalu melihat pakaian remaja berkulit coklat yang
sudah terlalu kusut. Gue berfikir, apa yang terjadi dengannya?, kenapa dia bisa
berjalan ke Sumedang?, dan apakah dia benar orang yang sedang berjalan kaki
atau sedang iseng-iseng mencari korban untuk dipalak?.
“a’,kenapa
jalan juga ya”, sambil melihat gue yang terlihat lelah berjalan.
Dia
yang saat itu membawa tas kecil masih terasa segar, namun gue melihat raut
wajah yang terlihat lelah dan lungkai, seperti ada sebuah masalah yang hinggap
pada dirinya.
Sekitar
50 meter sebelum sampai di gerbang kampus,
“mas,
kok bisa jalan ke Sumedang?, tanya dengan rasa penarasan,
”ya,
nggk punya uang a”,
“kok
bisa?”,
“saya
habis main ke rumah teman”
Gue
semakin penasaran, langkah gue perlambat sambil memegang pundak remaja
tersebut.
“emang
bawa uang awalnya dari Sumedang berapa ya mas”,
“25.000
rupiah a”,
“nekat
juga”, sanggah gue pada remaja yang terlihat semakin lelah.
Gue
mengeluarkan uang sebanyak 12.000 rupiah, kemudian memberikannya kepada remaja tersebut, “eh, nggk usah mas”, gue
menahan tangannya agar tidak mengembalikan uang gue kembali.
“Ambil,
ambil, saya ikhlas kok”
“tapi
mas mahasiswa, perlu duit”,
“aman
kok”
Uang
gue akhirnya diterima. Beberapa saat sampai di gerbang, gue memberikan
pertanyaan yang tiak bisa dia jawab, “orang tuanya nggk tau kalau masnya
pergi”, dia langsung menunduk saat pertanyaan terakhir gue berikan.
“tau
kok”, muka rada cemas
Pernyataan
gue sembari melihat matanya, “tapi, orang tuanya tau nggk kalau mas nya kesini
jalan kaki terus nebeng sama orang lain ke Bandung”,
“nggk
mas”, pungkas remaja yang semakin menghindari pertanyaan gue.
Dia
kemudian langsung melanjutkan perjalanan menuju Tanjung Sari, kemudian naik
angkot menuju Sumedang. Percapakapan kami masih gantung, gue masih bingung,
kenapa mukanya langsung terlihat pudar dan gue merasa dia punya masalah yang
berat.
Sampai
malam menjelang, gue menceritakan kejadian yang dialami tadi kepada teman di
kampus. Dia mengatakan, “hal tersebut
memang sudah banyak terjadi pada beberapa remaja, mungkin mereka sedang
mengalami masalah dalam keluarganya sehingga bisa melakukan tindakan sesuka
hati dan mengikuti nafsu jahat yang mendekati. Semua kembali kepada masing-masing
diri, jika kamunya sudah terbiasa berbuat baik kepada sesama, maka perbuatan
memberi uang seperti yang kamu lakukan tadi tidak akan terlalu kamu fikirkan
baik buruknya. Entah saat itu kamu sedang ditipu atau memang sedang berhadapan
dengan orang yang sedang membutuhkan pertolonganmu”.
Gue
beranggapan, pernyataan teman gue tadi memberikan isyarat. Jika ingin berbuat
baik, maka lakukanlah !, jangan menunggu dan jangan berdebat dalam hati.
0 comments:
Post a Comment