footer social

Pages

Sunday, June 25, 2017

Minggu Ketiga di Jalan Sepi Sebagai Petunjuk Arah

Salam walking guys,
Pada perjalanan gue yang ketiga ini, lokasi yang berbeda dilewati, serta adanya jalan baru yang gue tempuh sebagai jalur alternatif ke jalan aspal yang lebih besar di kawasan Cikuda, Jatinangor..
Gue memulai start jalan dari UKM barat kampus menuju Fakultas Kedokteran, kemudian langsung mengarah ke Fakultas Keperawatan, dari Fakultas Keperawatan, sebuah pemandangan indah terlihat di Gedung Dekanat Fakultas.
Selesai melewati Gedung Keperawatan, gue berjalan menuju Gedung Lab baru di pusat kampus Unpad Jatinangor. Gue melihat bangunan baru dengan arsitektur yang berbeda dari bangunan lainnya. Warna cerah dan bentuk lorong yang unik banyak mengundang mahasiswa serta warga sekitaran Jatinangor mengabadikan diri di sisi bangunan unik tersebut.
Rasa penasaran mengajak gue untuk mengelilingi gedung tiga tingkat tersebut. Selesai melewati Gedung Lab, Gue langsung mengambil arah kiri, tepatnya jalan aspal yang berada di belakang Fakultas Ilmu Komunikasi. Jalur lurus sepanjang 100 meter menuju bundaran depan rektorat dilalui dengan rasa lelah yang belum sama sekali terasa. Sampai di Bundaran, Gue langsung mengambil belok kanan menuju bangunan lama Fakultas Pertanian.
Memasuki bagian depam gedung, gue melihat arah menuju jalan yang tidak terlalu bagus, masih banyak kerikil besar dan kecil yang dilewati. Sebuah taman indah terpampang jelas di depan mata, luas lahan sawah yang menjadi tempat berkumpul kerbau dengan burung pipit diatas punggungnya. Suasana alam tersebut mengingatkan gue saat berada di kampung halaman, Solok.
Gue berhenti dan melihat area persawahan, sangat banyak karunia tuhan yang telah memberikan kenikmatan mata saat melihat hijaunya alam, Indonesia. Betapa indahnya sang kreator alam membuat alam ini, pandangan mata tidak bisa lepas menuju hutan di bagian ujung sawah.
Lika liku jalan dilewati. Terdapat pohon bambu yang berada di bagian kanan jalan. Setiap langkah kaki yang menginjak dedaunan menghasilkan suara, sesekali suara tersebut beriringan dengan desiran pohon bambu yang terkena angin. Gue hanya berfikir positif dengan jalanan yang dilewati saat waktu masih menunjukkan jam 8 pagi.
Setelah melewati jalan yang dirasa aneh tersebut, Gue melihat ada sekitar lima anak-anak yang bermain di kolam ikan, sehingga mengejutkan perjalanan saat melintasi bagian depan rumah mereka.
"Ye ye ye, awas a,” sorak sorai anak-anak yang sedang main air. Gue langsung menghindari permainan anak-anak yang sedang berjelanjang bulat tersebut.
"weii, jangan lempar-lempar air dek”, anak-anak tersebut mengabaikan perkataan Gue. Sesegera mungkin Gue langsung berlari dari siraman air bocah-bocah girang yang saat itu langsung ditegur oleh Ibunya.
Gue melanjutkan perjalanan dengan baju yang sedikit basah. Jalan mulai menanjak mencapai kemiringan 45 derajat. Keringat mulai bercucuran dengan kaki yang mulai terasa berat saat melangkah.
Lelah, capek, letih dan lesu mulai datang. Beruntung, puncak jalan menanjak terlihat, demi sampai lebih cepat di atas jalan yang belum tahu bentuk jalannya, Gue berlari dan akhirnya sampai pada jalan besar yang sering dilalui saat berkendara ke Gunung Manglayang.
Sampai di ujung jalan menanjak, Gue menghela nafas dalam-dalam dan menenangkan diri sambil mendengarkan lagu. Musik disko menyegerakan langkah sampai di persimpangan menuju kolam renang yang biasa didatangi. Gue membayangkan, seandainya berenang langsung di kolam tersebut, mungkin tubuh akan serasa segar kembali. Tapi, apa mau dikata, pemikiran tersebut hanya khayalan biasa yang tidak akan terjadi.
Perjalanan balik ke UKM Barat tempat gue tidur semalam dimulai.
Gue melewati jalur berbeda dari jalur yang sebelumnya. Gue menempuh Jembatan Cincin yang sudah terkenal di Jatinangor. Tingginya jembatan membuat gue merasa ngeri saat melihat ke bawah jembatan.
Jembatan cincin menjadi saksi sejarah penjajahan yang terjadi di Indonesia. Satu cerita yang gue dapat, saat malam hari, katanya ada sosok makluk halus suka berdiri di tepian jembatan.
 "Wuiiss, suara angin berhembus saat gue melintas sendiri di jembatan.
“ah, bodo amat lah,” sembari berjalan lebih cepat dengan bulu kuduk yang berdiri.
Walau masih belum terlalu siang, imajinasi gue terlalu capat membawa gue memikirkan hal negative tentang Jembatan tersebut.
“Bodo amat, bodo amat,” langkah semakin dipercepat.
Selesai melintasi Jembatan tersebut, Gue berbelok ke sebelah kanan menuju gerbang kecil kampus. Gue masih ingat kata Biro Sarana dan Prasana kampus ketika gue menjabat sebagai staf di organisasi mahasiswa setahun yang lalu.
Hasil percakapan setahun yang lalu
“gerbang kampus kita itu buanyak banget ri.” kata bapak kepala biro.
“ada berapa emang pak,” tanya gue dengan penasaran.
Si bapak menyebut dengan menunjuk jari jemarinya,
“ada sekitar 6 – 7 gerbang, kebanyakan jalan tikus,” ujar bapak. Pembicaraan yang ditulis dalam laporan sewaktu berada di Organisasi tersebut.
Gue memasuki gerbang kecil menuju Fakultas Satra. Jalanan sangat ramai, serta masyarakat sudah mulai meramaikan jalur lintas fakultas satu ke fakultas yang lainnya.
Selesai melintasi jalur yang berada depan Sakultas Satra, gue melewati bundaran yang berada dekat tanjakan cinta kampus. Perjalanan selesai dengan rasa lelah yang dibasahi air minum penyegar dahaga.
Hal baru gue temukan saat perjalanan ketiga ini adalah adanya jalur baru yang  didapatkan dari jalan lintas Cikuda menuju kawasan kampus. Jalan yang baru tetap memberi cerita baru dengan suasana serta budaya penduduk yang baru diketahui. Akan ada hal menarik saat sebuah perjalanan pagi memberi banyak inspirasi.
Let’s go to the new street


0 comments:

Post a Comment

Namanya juga, Bosssss