Salam walking guys,
Pada perjalanan
gue yang ketiga ini, lokasi yang berbeda dilewati, serta adanya jalan baru yang
gue tempuh sebagai jalur alternatif ke jalan aspal yang lebih besar di kawasan
Cikuda, Jatinangor..
Gue memulai start jalan dari UKM barat kampus menuju
Fakultas Kedokteran, kemudian langsung mengarah ke Fakultas Keperawatan, dari
Fakultas Keperawatan, sebuah pemandangan indah terlihat di Gedung Dekanat
Fakultas.
Selesai
melewati Gedung Keperawatan, gue berjalan menuju Gedung Lab baru di pusat
kampus Unpad Jatinangor. Gue melihat bangunan baru dengan arsitektur yang
berbeda dari bangunan lainnya. Warna cerah dan bentuk lorong yang unik banyak
mengundang mahasiswa serta warga sekitaran Jatinangor mengabadikan diri di sisi
bangunan unik tersebut.
Rasa penasaran
mengajak gue untuk mengelilingi gedung tiga tingkat tersebut. Selesai melewati
Gedung Lab, Gue langsung mengambil arah kiri, tepatnya jalan aspal yang berada
di belakang Fakultas Ilmu Komunikasi. Jalur lurus sepanjang 100 meter menuju
bundaran depan rektorat dilalui dengan rasa lelah yang belum sama sekali
terasa. Sampai di Bundaran, Gue langsung mengambil belok kanan menuju bangunan
lama Fakultas Pertanian.
Memasuki bagian
depam gedung, gue melihat arah menuju jalan yang tidak terlalu bagus, masih
banyak kerikil besar dan kecil yang dilewati. Sebuah taman indah terpampang jelas di depan mata, luas
lahan sawah yang menjadi tempat berkumpul kerbau dengan burung pipit diatas
punggungnya. Suasana alam tersebut mengingatkan gue saat berada di kampung
halaman, Solok.
Gue berhenti
dan melihat area persawahan, sangat banyak karunia tuhan yang telah memberikan
kenikmatan mata saat melihat hijaunya alam, Indonesia. Betapa indahnya sang
kreator alam membuat alam ini, pandangan mata tidak bisa lepas menuju hutan di
bagian ujung sawah.
Lika liku jalan
dilewati. Terdapat pohon bambu yang berada di bagian kanan jalan. Setiap
langkah kaki yang menginjak dedaunan menghasilkan suara, sesekali suara
tersebut beriringan dengan desiran pohon bambu yang terkena angin. Gue hanya
berfikir positif dengan jalanan yang dilewati saat waktu masih menunjukkan jam
8 pagi.
Setelah
melewati jalan yang dirasa aneh tersebut, Gue melihat ada sekitar lima anak-anak
yang bermain di kolam ikan, sehingga mengejutkan perjalanan saat melintasi
bagian depan rumah mereka.
"Ye ye ye,
awas a,” sorak sorai anak-anak yang sedang main air. Gue langsung menghindari
permainan anak-anak yang sedang berjelanjang bulat tersebut.
"weii, jangan
lempar-lempar air dek”, anak-anak tersebut mengabaikan perkataan Gue. Sesegera
mungkin Gue langsung berlari dari siraman air bocah-bocah girang yang saat itu
langsung ditegur oleh Ibunya.
Gue melanjutkan
perjalanan dengan baju yang sedikit basah. Jalan mulai menanjak mencapai
kemiringan 45 derajat. Keringat mulai bercucuran dengan kaki yang mulai terasa
berat saat melangkah.
Lelah, capek,
letih dan lesu mulai datang. Beruntung, puncak jalan menanjak terlihat, demi
sampai lebih cepat di atas jalan yang belum tahu bentuk jalannya, Gue berlari
dan akhirnya sampai pada jalan besar yang sering dilalui saat berkendara ke
Gunung Manglayang.
Sampai di ujung
jalan menanjak, Gue menghela nafas dalam-dalam dan menenangkan diri sambil
mendengarkan lagu. Musik disko menyegerakan langkah sampai di persimpangan
menuju kolam renang yang biasa didatangi. Gue membayangkan, seandainya berenang
langsung di kolam tersebut, mungkin tubuh akan serasa segar kembali. Tapi, apa
mau dikata, pemikiran tersebut hanya khayalan biasa yang tidak akan terjadi.
Perjalanan
balik ke UKM Barat tempat gue tidur semalam dimulai.
Gue melewati jalur
berbeda dari jalur yang sebelumnya. Gue menempuh Jembatan Cincin yang sudah
terkenal di Jatinangor. Tingginya jembatan membuat gue merasa ngeri saat
melihat ke bawah jembatan.
Jembatan cincin
menjadi saksi sejarah penjajahan yang terjadi di Indonesia. Satu cerita yang
gue dapat, saat malam hari, katanya ada sosok makluk halus suka berdiri di
tepian jembatan.
"Wuiiss, suara angin berhembus saat gue
melintas sendiri di jembatan.
“ah, bodo amat
lah,” sembari berjalan lebih cepat dengan bulu kuduk yang berdiri.
Walau masih
belum terlalu siang, imajinasi gue terlalu capat membawa gue memikirkan hal
negative tentang Jembatan tersebut.
“Bodo amat,
bodo amat,” langkah semakin dipercepat.
Selesai
melintasi Jembatan tersebut, Gue berbelok ke sebelah kanan menuju gerbang kecil
kampus. Gue masih ingat kata Biro Sarana dan Prasana kampus ketika gue menjabat
sebagai staf di organisasi mahasiswa setahun yang lalu.
Hasil percakapan setahun yang
lalu
“gerbang kampus
kita itu buanyak banget ri.” kata bapak kepala biro.
“ada berapa
emang pak,” tanya gue dengan penasaran.
Si bapak menyebut
dengan menunjuk jari jemarinya,
“ada sekitar 6
– 7 gerbang, kebanyakan jalan tikus,” ujar bapak. Pembicaraan yang ditulis
dalam laporan sewaktu berada di Organisasi tersebut.
Gue memasuki
gerbang kecil menuju Fakultas Satra. Jalanan sangat ramai, serta masyarakat
sudah mulai meramaikan jalur lintas fakultas satu ke fakultas yang lainnya.
Selesai
melintasi jalur yang berada depan Sakultas Satra, gue melewati bundaran yang
berada dekat tanjakan cinta kampus. Perjalanan selesai dengan rasa lelah yang
dibasahi air minum penyegar dahaga.
Hal baru gue
temukan saat perjalanan ketiga ini adalah adanya jalur baru yang didapatkan dari jalan lintas Cikuda menuju
kawasan kampus. Jalan yang baru tetap memberi cerita baru dengan suasana serta
budaya penduduk yang baru diketahui. Akan ada hal menarik saat sebuah
perjalanan pagi memberi banyak inspirasi.
Let’s go to the new street
0 comments:
Post a Comment