footer social

Pages

Thursday, June 22, 2017

Perbedaan Erat di Kota Kecil Serui

Satu hal yang membuat gue belajar menjadi kelompok minoritas di Kota Serui adalah adanya rasa saling tenggang menenggang, saling menghargai antar pemeluk agama. Hal yang baru pertama kali gue rasakan dalam hidup. Selama ini, gue hidup di daerah mayoritas muslim. Dan sekarang, sembari membantu bisnis sepupu, gue belajar menjadi muslim yang lebih mementingkan agama daripada hanya kerja untuk dunia.
Serui dikenal dengan daerah yang memiliki banyak pendatang di Papua. Setiap pendatang kebanyakan berasal dari agama islam. Walau begitu, gue tidak melihat adanya perbedaan dalam pergaulan serta sikap masing-masing warga yang berbeda agama. “Papua, kita bersaudara,” kalimat yang terbukti kebenaraannya ketika gue bergaul bersama mereka. Setiap orang berhak beribadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing.
Seperti yang terjadi sore tadi, Gue yang sedang berada di toko, melihat anak muda Serui yang memasang baligo di bawah atap pasar yang menjadi peneduh jalan raya sepanjang 20 meter saja. Baligo yang berisi, “Selamat hari saya idul fitri, mohon maaf lahir dan batin,” walau terlihat biasa bagi orang yang sudah lama tinggal di Serui, tapi bagi gue yang baru beberapa hari di kota yang kebanyakan wisatanya adalah pantai merasakan bagaimana sebuah perbedaan dapat menyatu jika adanya rasa saling menghargai.
Suara terdengar dari depan toko, “adek, tolong cabut kabel bapak e,” ujar bapak yang menjual DVD depan toko gue.
Gue yang saat itu sedang melihat pemasangan baligo mengikuti permintaan bapak yang berbeda agama dengan gue.
“kabel mana bapak,”
“itu, yang dipasang buat DVD,”
Gue bingung, aneh sekali bapak berambut keriting menutup jualannya di saat waktu masih menunjukkan jam 3 sore.
“ha, tumben cepat pak,? tanya gue heran.
“orang mau buka puasa bersama dek,” ujar bapak yang sedang menggulung kabek DVDnya.
Usut punya usut, gue langsung mencari tahu siapa yang mengadakan acara tersebut kepada bapak yang sedang menyusun bangku untuk warga yang akan mengikuti acara.
Gue datang menuju Bapak berkulit hitam rambut kriting lagi,
”sore bapak,”
“sore juga dek,” dengan senyum sambil mengunyah pinang,
Gue bertanya kepada bapak tersebut, apa hal yang membuat bapak dan orang-orang yang memakai pakain rapi menyusun bangku dan memasang speaker di tengah jalan.
            “ini, siapa yang mengadakan acara ini pak,?
“iya, ini bapak bupati yang mengadakan dek, hampir tiap tahun kayak gini kok,”
“oh, iya pak, trus warga disini gimana tanggapa warga sini pak, ?
Bapak menjelaskan kepada gue,
“warga Serui saling menghargai masing-masing pemeluk agama. Sebagai warga lokal yang juga memiliki budaya yang berbeda, kami mengerti akan perbedaan itu dek. Tidak ada salahnya membantu agama lain yang akan mengadakan acaranya. Kita sebagai warga yang berbeda agama, terlebih lagi tidak puasa, sebaiknya membantu dan menyukseskan acara yang hanya tinggal satu jam  lagi dimulai,” jelas bapak.
Setelah memperoleh pelajaran dari si Bapak, gue melihat Bapak Bupati sedang berdiri ditas mimbar, ternyata beliau juga pendatang dari daerah lain. Sebagai seorang Bupati Serui, beliau setidaknya telah menampakkan diri walau hanya untuk mengikuti acara buka bersama. Beliau tetap memberi selamat kepada warga muslim yang akan memperoleh kemenangan di hari raya Idul Fitri nanti.
Gue yang saat itu melihat pidato beliau berfikir, kita sebagai warga muslim musti tetap menjaga silaturahmi dengan non muslim. Warga Serui mengajarkan kepada gue sekali lagi tetang sebuah perbedaan yang dapat menyatukan segala hal yang berbuah manis.
Perbedaan Erat di Kota Kecil Serui
Baligo terpasang
Perbedaan Erat di Kota Kecil Serui
Saat Bupati memberi pidato
Perbedaan Erat di Kota Kecil Serui
Bapak yang membantu menyusun kursi

0 comments:

Post a Comment

Namanya juga, Bosssss