Satu
hal yang membuat gue belajar menjadi kelompok minoritas di Kota Serui adalah
adanya rasa saling tenggang menenggang, saling menghargai antar pemeluk agama. Hal
yang baru pertama kali gue rasakan dalam hidup. Selama ini, gue hidup di daerah
mayoritas muslim. Dan sekarang, sembari membantu bisnis sepupu, gue belajar
menjadi muslim yang lebih mementingkan agama daripada hanya kerja untuk dunia.
Serui
dikenal dengan daerah yang memiliki banyak pendatang di Papua. Setiap pendatang
kebanyakan berasal dari agama islam. Walau begitu, gue tidak melihat adanya perbedaan
dalam pergaulan serta sikap masing-masing warga yang berbeda agama. “Papua,
kita bersaudara,” kalimat yang terbukti kebenaraannya ketika gue bergaul
bersama mereka. Setiap orang berhak beribadah menurut agama dan kepercayaannya
masing-masing.
Seperti
yang terjadi sore tadi, Gue yang sedang berada di toko, melihat anak muda Serui
yang memasang baligo di bawah atap pasar yang menjadi peneduh jalan raya
sepanjang 20 meter saja. Baligo yang berisi, “Selamat hari saya idul fitri,
mohon maaf lahir dan batin,” walau terlihat biasa bagi orang yang sudah lama
tinggal di Serui, tapi bagi gue yang baru beberapa hari di kota yang kebanyakan
wisatanya adalah pantai merasakan bagaimana sebuah perbedaan dapat menyatu jika
adanya rasa saling menghargai.
Suara
terdengar dari depan toko, “adek, tolong cabut kabel bapak e,” ujar bapak yang
menjual DVD depan toko gue.
Gue
yang saat itu sedang melihat pemasangan baligo mengikuti permintaan bapak yang
berbeda agama dengan gue.
“kabel
mana bapak,”
“itu,
yang dipasang buat DVD,”
Gue
bingung, aneh sekali bapak berambut keriting menutup jualannya di saat waktu
masih menunjukkan jam 3 sore.
“ha,
tumben cepat pak,? tanya gue heran.
“orang
mau buka puasa bersama dek,” ujar bapak yang sedang menggulung kabek DVDnya.
Usut
punya usut, gue langsung mencari tahu siapa yang mengadakan acara tersebut
kepada bapak yang sedang menyusun bangku untuk warga yang akan mengikuti acara.
Gue
datang menuju Bapak berkulit hitam rambut kriting lagi,
”sore
bapak,”
“sore
juga dek,” dengan senyum sambil mengunyah pinang,
Gue
bertanya kepada bapak tersebut, apa hal yang membuat bapak dan orang-orang yang
memakai pakain rapi menyusun bangku dan memasang speaker di tengah jalan.
“ini, siapa yang mengadakan acara
ini pak,?
“iya,
ini bapak bupati yang mengadakan dek, hampir tiap tahun kayak gini kok,”
“oh,
iya pak, trus warga disini gimana tanggapa warga sini pak, ?
Bapak
menjelaskan kepada gue,
“warga
Serui saling menghargai masing-masing pemeluk agama. Sebagai warga lokal yang
juga memiliki budaya yang berbeda, kami mengerti akan perbedaan itu dek. Tidak ada
salahnya membantu agama lain yang akan mengadakan acaranya. Kita sebagai warga
yang berbeda agama, terlebih lagi tidak puasa, sebaiknya membantu dan
menyukseskan acara yang hanya tinggal satu jam
lagi dimulai,” jelas bapak.
Setelah
memperoleh pelajaran dari si Bapak, gue melihat Bapak Bupati sedang berdiri
ditas mimbar, ternyata beliau juga pendatang dari daerah lain. Sebagai seorang
Bupati Serui, beliau setidaknya telah menampakkan diri walau hanya untuk
mengikuti acara buka bersama. Beliau tetap memberi selamat kepada warga muslim
yang akan memperoleh kemenangan di hari raya Idul Fitri nanti.
Gue
yang saat itu melihat pidato beliau berfikir, kita sebagai warga muslim musti
tetap menjaga silaturahmi dengan non muslim. Warga Serui mengajarkan kepada gue
sekali lagi tetang sebuah perbedaan yang dapat menyatukan segala hal yang
berbuah manis.
Baligo terpasang |
Saat Bupati memberi pidato |
Bapak yang membantu menyusun kursi |
0 comments:
Post a Comment